POPULASI HEWAN

Posted by Ayu Rachmawati

POPULASI

Populasi adalah himpunan individu-individu suatu spesies organisme yang terdapat di suatu tempat pada suatu waktu. Satuan terkecil pembangun populasi adalah individu. Individu-individu suatu spesies hewan di suatu tempat memperlihatkan variasi individu, yakni persamaan dan perbedaan menyangkut aspek-aspek fisiologis, structural-morfologis, perilaku, baik yang bersifat herediter maupun tidak.
Pengertian populasi ditujukan untuk individu-individu spesies yang sama (homospesies, monospesies). Namun, dalam praktek sehari-hari istilah populasi adakalanya digunakan dalam pengertian heterospesies (polispesies). Misal, populasi capung di kampus,populasi burung di Kota Bandung. Istilah populasi juga digunakan untuk individu-individu dari suatu kategori umur atau tingkat perkembangan tertentu saja, terutama hewan-hewan yang berbeda stadium perkembangannya menempati habitat yang berbeda pula. MIsalnya, populasi nimfa lalat sehari atau nimpa capung di suatu perairan.
Masalah interaksi antara hewan dengan faktor biotik dan abiotik lingkungannya sebenarnya berlangsung pada tahapan individu, dan dapat diteliti pada tahapan itu. Namun, tidak akan mencerminkan gambaran sebenarnya dari populasi, karena tidak memperhitungkan variasi individual. Tahapan yang paling baik digunakan sebagai satuan dan fokus bahasan dalam ekologi adalah populasi.
CIRI-CIRI DASAR POPULASI
Dua ciri dasar populasi yaitu ciri biologi, yang merupakan ciri yang dimiliki oleh individu-individu pembangun populasi itu serta ciri statistic yang merupakan ciri uniknya sebagai himpunan.
Ciri-ciri Biologi
Seperti halnya suatu individu organisme, suatu populasi pun:
mempunyai strukutur dan organisasi tertentu, bersifat konstan mauun berubah sejalan dengan waktu.
mempunyai ontogeni / sejarah perkembangan kehidupan (lahir, tumbuh, berdiferensiasi, senenses, mati)
dapat dikenai dampak faktor lingkungan dan dapat memberikan respon pada faktor lingkungan.
mempunyai hereditas
terintegrasi oleh faktor genetic dan lingkungan (ekologi).
Ciri-ciri Statistik
Ciri statistik atau ciri himpunan tidak dimiliki oleh suatu individu organisme, namun timbul sebagai akibat dari aktivitas kelompok yang berinteraksi. Diantaranya adalah:
Kelimpahan dan kerpatan populasi, beserta parameter-parameter utama yang mempengaruhinya.
Sebaran (struktur) umur
Dispersi (sebaran individu intra-populasi)
Genangan gen (gen pool) populasi.
Penampilan dan kinerja suatu populasi sangat ditentukan oleh ciri-ciri statistic. Ekologi populasi (yang membahas dinamika populasi) memusatkan topic-topik bahasannya pada ciri statistic serta faktor yang mempengaruhinya dalam skala ruang dan waktu.
KELIMPAHAN DAN KERAPATAN POPULASI
Tinggi rendahnya jumlah individu populasi suatu spesies hewan menunjukkan besar kecilnya ukuran populasi atau tingkat kelimpahan populasi itu. Area suatu populasi tidak dapat ditentukan batansnya secara pasti, sehingga kelimpahan (ukuran) populasi pun tidak mungkin dapat ditentukan. Hal demikian terutama berlaku bagi populasi alami hewan-hewan bertubuh kecil, terlebih yang nocturnal atau tempat hidupnya sulit dijangkau. Maka, digunakan pengukuran tingkat kelimpahan populasi per satuan ruang dari yang ditempati yaitu kerapatannya (kepadatannya).
Kerapatan populasi suatu spesies hewan adalah rata-rata jumlah individu per satuan luas area (m2, Ha, km2) atau per satuan volume medium (cc, liter, air) atau per satuan berat medium (g, kg, tanah). Dalam hal-hal tertentu. kerapatan lebih memberikan makna bila dinyatakan per satuan habitat atau mirohabitat. Misalnya, sekian individu cacing usus per individu inang atau sekian individu werwng per rumpun padi.
Sehingga terdapat dua pengertian. Kerapatan (kasar) diukur atas satuan ruang habitat secara menyeluruh dan kerapatan ekologis (kerapatan spesifik) didasarkan atas satuan ruang dalam habitat yang benar-benar ditempatinya (microhabitat). Kerapatan spesifik lebih memberikan makna antar-hubungan ekologis. Seperti, dengan makin turunnya permukaan air danau, kerapatan populasi ikan dalam danau secara keseluruhan (kerapan kasar) menjadi berkurang, sedang kerapatan ekologisnya makin bertambah.
Kerapatn populasi tidak selalu harus dinyatakan sebagai jumlah individu. Apabila ukuran tubuh individu-individu sangat bervariasi, tingkat kerapatan populasi sering dinyatakan sebagai kerapatan biomasa (B).
B= ∑_(i=1)^(i n)▒b atau B=n x b ̅
b = berat tubuh individu
n = jumlah individu
b ̅ = rata-rata berat tubuh individu
Dalam bahasan produktivitas dan energetika di bidang ekologi, adakalanya biomasa dinyatakan dalam satuan bera kering (bebas air) atau satuan energy (kcal, cal, joule).
Terdapat suatu kecenderungan umum hubungan berbnading terbalik antara kerapatan dan ukuran tubuh hewan. Spesies hewan yang berukuran tubuh kecil tingkat kerapatannya tinggi, sedang hewan berukuran besar tingkat kerapatannya rendah.
Batas-batas Kerapatan Populasi
Dalam habitat alami yang ditempatinya, kerapatan populasi suatu spesies hewan dapat berubah-ubah sejalan dengan waktu dalam batas-batas tertentu. Batas atas kerapatan ditentukan oleh berbagai faktor, seperti aliran energi atau produktivitas ekosistem, ukuran tubuh, laju metabolism, dan kedudukan tingkatan trofik spesies hewan. Batas bawah kerapatan populasi belum diketahui dengan pasti. Namun, dalam ekosistem yang stabil ada mekanisme homeostatis dalam populasi, yang diduga memegang peranan penting dalam menentukan batas bawah kerapatan.
Intensitas, Prevalensi, dan Kelangkaan
Kelimpahan populasi suatu spesies mengandung dua aspek yang berbeda, yaitu aspek intensitas dan aspek prevalensi. Intensitas menunjukkan aspek tinggi rendahnya kerapatan populasi dalam area yang dihuni spesies. Prevalensi menunjukkan jumlah dan ukuran area-area yang ditempati spesies dalam konteks daerah yang lebih luas (masalah sebaran).
Suatu spesies hewan yang prevalensinya tinggi (=prevalen) dapat lebih sering dijumpai. Spesies yang prevalensinya rendah, yang daerah penyebarannya terbatas (terlokalisasi) hanya ditemui di tempat tertentu.
Spesies hewan dapat dimasukkan dalam salah satu dari empat kategori berikut:
prevalensi tinggi (=prevalen) dan intensitasnya tinggi
prevalensi tinggi (=prevalen) tetapi intensitasnya rendah
prevalensi rendah (=terlokalisasi) tetapi intensitasnya tinggi
prevalensi rendah (=terlokalisasi) dan intensitasnya rendah.
Badak Jawa dan Jalak Bali bersifat endemic dan merupakan spesies langka yang terancam kepunahan. Ktegorisasi status spesies dengan memperhitungkan dua aspek tersebut sangat penting terutama dalam menentukan urutan prioritas perhatian dan untuk melakukan upaya-upaya kelestarian spesies hewan langka yang terancam punah.
Penyebab Kelangkaan
Spesies yang terlokalisasi dan intensitasnya rendah dikategorikan sebagai spesies langka. Adakalanya spesies yang intensitasnya tinggi namun prevalensinya rendah pun dimasukkan dalam kategori tersebut.
Faktor-faktor yang menjadi penyebab langkanya suatu spesies sangat banyak. Namun, faktor-faktor tersebut mengkin saja tidak sama antara spesies di suatu tempat tertentu dengan spesies di tempat lain.
Kelangkaan suatu spesies dapat diakibatkan oleh satu atau beberapa penyebab berikut:
Area yang dihuni spesies menjadi sempit atau jarang. Suatu habitat yang kondisi lingkungannya khas biasanya dihuni oleh spesies yang telah teradaptasi secara khusus untuk lingkungan tersebut. Berubahnya kondisi lingkungan dapat mengakibatkan kepunahan lokal dari spesies tersebut.
Tempat-tempat yang dapat dihuni spesies hanya cocok huni dalam waktu yang singkat, atau tempat itu letaknya di luar jangkauan daya pemencaran (dispesal) spesies hewan.
Tempat-tempat yang secara potensial dapat dihuni, menjadi tidak dapat ditempati akibat kehadiran spesies lain yang merupakan pesaing, parasit atau predatornya.
Dalam area yang dapat dihuni, ketersedian sumber daya penting seperti makanan dan tempat untuk berbiak menjadi berkurang.
Variasi genetic spesies relatif sempit sehingga kisaran tempat yang dapat dihuninya pun terbatas.
Plastisitas fenotipik individu-individu rendah, sehingga kisaran tempat yang dapat diuninya pun terbatas.
Kehadiran populasi-populasi spesies lain yang merupakan pesaing, predator dan parasit menekan tingkat kelimpahan populasi spesies hingga rendah sekali, jauh di bawah tingkat kelimpahan yang sebenarnya masih dimungkinkan oleh ketersedian sumber dayanya.
*butir 4 dan 7 menyangkut masalah intensitas sedang butur lainnya masalah prevalensi.
PENGUKURAN TINGKAT KELIMPAHAN POPULASI
Cara mengukur kelimpahan populasi suatu spesies hewan banyak macamnya. Suatu metoda dan teknik yang cocok bagi suatu sepsis, belum tentu cocok digunakan pada spesies lain. Faktor penentu penting dipilihnya suau cara yang cocok, adalah tujuan dan keperluan pengukuran, ukuran tubuh hewan, mobilitas serta perilaku umum spesies tersebut. Juga ketersediaan waktu dan tenaga serta keterampilan pelaksana pengukuran pun turut menentukan.
Pengukuran Kelimpahan Absolut: Pencacahan Total
Pencacahan total merupakan suatu cara menghitung secara langsung semua individu di suatu tempat yang dihuni spesies yang diselidiki. Metode ini biasanya digunakan pada berbagai spesies mamalia berukuran tubuh besar dan mudah tampak dalam habitatnya, misal gajah di semak belukar.
Pencacahan total juga dapat dilakukan pada berbagai jenis hewan yang berukuran kecil, misal kelelawar dengan mencacah individu yang keluar masuk dari lubang tempat tinggalnya. Dapat juga dilakukan pada jenis hewan invertebrate sesil dengan ukuran tubuh yang tidak terlalu kecil, misalnya teritip (Balanus sp).
Pengukuran Kelimpahan Absolut : Metoda-metoda Pencuplikan
Metode pencuplikan (sampling method) merupakan metode yang menggunakan pencacahan, namun dilakukan terhadap individu-individu dari cuplikan-cuplikan (samples) yang masing-masing merupakan suatu proporsi kecil dari populasi yang diperiksa.
Metode pencuplikan kuadrat
Metode ini umum digunakan untuk membuat taksiran kerapatan populasi berbagai hewan Invertebrata. Satuan pencuplikan di area yang diselidiki populasi hewannya, yaitu kuadrat, bentuknya tidak selalu bujur sangkar. Bagian penting dari metode ini adalah menentukan besar ukuran tiap satuan cuplikan (ukuran kuadrat), jumlah cuplikan serta pola penempatan cuplikan-cuplikan tersebut.
Prosedur metode ini meliputi pencacahan individu-individu dari semua cuplikan kuadrat itu, dan dari angka-angka yang didapat ditentukan purata kerapatan populasi hewannya untuk mewakili seluruh area yang diselidiki.
Tingkat keandalan metode tersebut tergantung pada:
Luas area kuadrat harus diketahui dengan pasti
Kuadrat-kuadrat itu harus dapat mewakili keseluruhan dari area yang diselidiki populasinya
Jumlah individu dari setiap kuadrat harus dicacah dengan tepat.
Dalam menentukan kerapat populasi, aspek ketepatan (presisi) bukan prioritas utama. Aspek yang paling penting adalah daya ramalnya (predictability) harus tinggi dan nirbias (unbiased).
Metode menangkap-menandai-menangkap kembali
Metode Capture-Mark-Recapture method ini juga dikenal sebagai metode Lincoln-Petersen, dalam bentuk yang paling dasar dan sederhana mencakup dua kali pencupikan. Semua individu yang diperoleh dari pencuplikan pertama ditandai, lalu dilepaskan kembali dan jumlahnya dicatat (=M). Setelah selang watu tertentu –tidak memungkinkan timbulnya individu baru hasil perbiakan-, dilakukan penangkapan kembali (pencuplikan kedua) di area yang sama secara acak. Apabila jumlah individu hasil penangkapan kesatu n dan sejumlah m diantaranya bertanda, maka dengan disadarkan pada N : M = n : m maka taksiran besar populasi yang dicari N dapat dihitung:
N ̂= (n M)/m ± √((M^2 n (n-m))/m^3 )
Asumsi-asumsi pokok dalam metode ini adalah:
individu-individu yang bertanda maupun tak bertanda peluangnya sama untuk ditangkap secara acak
tanda yang digunakan tidak hilang dan dapat dikenali selama periode pengamatan
laju kematian pada individu bertanda tidak berbeda dengan individu-individu yang tidak bertanda.
Salah satu asumsi yang tidak akan terpenuhi apabila individu-individu hewan yang sudah ditangkap, ditandai serta dilepas kembali, menjadi jera-perangkap (trap-say) ataupun kecanduan perangkap (trap addict).
Metode pemindahan
Metode pemindahan atau penhilangan (removal method) meliputi pencuplikan (penangkapan) yang dilakukan beberapa kali dengan cara yang sama. Pada setiap kali, individu hasil penangkapan diambil dari populasi. Dasarnya, jumlah individu yang tertangkap dan daiambil akan mempenggaruhi penangkapan-penangkapan berikutnya. Laju berkurangnya hasil penangkapan itu akan proporsional terhadap jumlah total individu dalam populasi.
Apabila pencuplikan hanya dilakukan dua kali, kelimpahan dapat ditaksir dengan:
N ̂= 〖y_1〗^2/(y_1-y_2 )
Apabila pencuplikan dilakukan secara berkali-kali, maka metode yang paling baik adalah analisis regresi.
Penentuan Kelimpahan Relatif
Metode ini, hasil pengukurannya tidak menghasilkan suatu angka taksiran mengenai besar populasi atau kerapatan populasi, melainkan hanya suatu indeks mengenai kelimpahan populasi. Indeks kelimpahan ialah bahwa angka indeks tersebut berkorelasi secara relatif konstan dengan angka besar populasi yang sebenarnya atau dengan angka kerapatan populasinya. Besarnya konstanta korelasi tidak diketahui secara pasti.
Informasi mengenai kelimpahan relatif berguna untuk mendeteksi terjadinya perubahan besar, mengenai naik turunnya kelimpahan populasi suatu spesies hewan di suatu tempat.
Beberapa teknik dan metode penentuan kelimpahan relatif:
Penggunaan perangkap. Misal perangkap jebak, perangkap cahaya, perangkap hidup dll. Jumlah individu yang tertangkap berkorelasi dengan tingkat kelimpahan populasi, populasi aktivitas hewan, daerah jelajah, dan efektivitas perangkap yang digunakan. Indeks kelimpahan dinyatakan dalam purata jumlah individu per satuan waktu per perangkap.
Penggunaan jala. Jala serangga, tebar, kabut dll.
Perhitungan pellet tinja (yang relatif baru) misal bangsa rusa, kijang, kelinci, tikus. Bila jumlah total pellet segar di suatu area dan purata laju produksinya (laju defekasi) per individu per satuan waktu diketahui, maka kerapatan atau kelimpahan absolutnya dapat ditaksir melalui perhitungan.
Perhitungan hasil tangkapan per satuan usaha. Misal, indeks kelimpahan ikan di laut pada suatu periode dapat dinyatakan dalam jumlah berat atau jumlah ikan per 100 jam memukat dengan suatu kapal pukat.
Perhitungan jumlah artefak. Indeks kelimpahan ditaksir dari perhitungan jumlah ‘tanda bukti’ atau jejak hasil aktivitas hewan, misal sarang, lubang, bekas garukan, kepompong kosong dll.
Perhitungan frekuensi vokalisasi. Indeks kelimpahan dinyatakan dalam angka frekuensi bunyi atau teriakan per satuan waktu. Misal pada kera, bajing, burung dsb.
Sensus tepi jalan (roadside count). Misal mencacah kera, burung yang tampak di sepanjang jalan sejarak tertentu yang dilalui.
Pengukuran daya makan. Perubahan kelimpahan populasi diukur dari perubahan banyaknya umpan yang dimakan pada tikus, kelindi, dll.
Penggunaan manusia sebagai umpan. Misal menentukan kelimpahan realtif nyamuk, jumlah nyamuk yang hinggap dan menggigit lengan selam rentang waktu tertentu. Kelimpahan yang diperoleh secara berkala dalam rentang waktu lama, dapat memberikan informasi penting mengenai pola perubahan kelimpahan populasi.
Pengisian kuesioner oleh para pemburu, penjual, dll mengenai jumlah hasil tangkapan (yang dilakukan dengan cara dan rentang waktu yang sama). Hasil kuesioner yang cukup andal dapat memberikan informasi mengenai perubahan besar yang terjadi pada kelimpahan populasi hewan.

ASAL-USUL EUKARIOTA

Posted by Ayu Rachmawati

Eukariotik diperkirakan mulai muncul 1,5 milyar tahun yang lalu. Para ilmuwan belum mengetahui dengan pasti bagaimana organisme eukariotik ini berkembang.
Namun, para ilmuwan berspekulasi bahwa organisme eukariotik berasal dari organism prokariotik. Menurut para ilmuwan, bakteri prokariotik yang autotrof dan heterotrof melakukan simbiosis bersama. Simbiosis adalah hubungan yang erat antara organism yang seringkali menguntungkan. Pada simbiosis ini, perlindungan diri mencari makanan dan energi dilakukan bersama. Hipotesis endosimbiosis ini menyatakan bahwa nenek moyang sel hewan dan tumbuhan merupakan hasil simbiosis antara organisme prokariotik anaerob yang besar dengan sel bakteri aerob yang kecil.
Organisme prokariotik berfungsi sebagai inang, dan sel bakteri aerob berada di dalam inang dan berfungsi sebagai mitokondria.
Masing-masing organisme ini tetap tumbuh dan membelah diri. Saat inang membelah diri, bakteri yang berada di dalamnya didistribusikan ke tiap sel anakan. Akhirnya, bakteri berbentuk spiral juga ikut bergabung dengan simbiosis ini dan membentuk flagella dan silia. Hasilnya adalah protista seperti yang ada dewasa ini.
Para biologiwan telah menemukan persamaan – persamaan antara organel dan bakteri yang menjadi bukti hipotesis simbiosis.
Sebagai contohnya, mitokondria menyerupai bakteri dalam beberapa hal, yaitu:
l. dapat bereproduksi sendiri,
2. memiliki asam nukleat yang sama,
3. kadang memiliki ukuran dan bentuk sama, dan
4. melaksanakan sintesis protein di ribosom.
Hipotesis lain tentang asal-usul eukariota menjelaskan bahwa organism eukariota berkembang secara langsung dari organisme prokariota. Organel-organel dalam sel eukariota berasal dari pelekukan dan penjepitan bagian membran sel organisme prokariota.


TEORI ENDOSIMBIOSIS
Keberadaan mitokondria didukung oleh hipotesis endosimbiosis yang mengatakan bahwa pada tahap awal evolusi sel eukariot bersimbiosis dengan prokariot (bakteri) [Margullis, 1981]. Kemudian keduanya mengembangkan hubungan simbiosis dan membentuk organel sel yang pertama. Adanya DNA pada mitokondria menunjukkan bahwa dahulu mitokondria merupakan entitas yang terpisah dari sel inangnya. Hipotesis ini ditunjang oleh beberapa kemiripan antara mitokondria dan bakteri. Ukuran mitokondria menyerupai ukuran bakteri, dan keduanya bereproduksi dengan cara membelah diri menjadi dua. Hal yang utama adalah keduanya memiliki DNA berbentuk lingkar. Oleh karena itu, mitokondria memiliki sistem genetik sendiri yang berbeda dengan sistem genetik inti. Selain itu, ribosom dan rRNA mitokondria lebih mirip dengan yang dimiliki bakteri dibandingkan dengan yang dikode oleh inti sel eukariot [Cooper, 2000].
Dalam upaya menjembati kesenjangan perubahan sejarah evolusi, para ilmuwan mengusulkan Teori Endosimbiosis Serial (SET). SET menyatakan bahwa evolusi eukariota dari prokariota melibatkan serikat simbiotik nenek moyang sebelumnya. Nenek moyang ini termasuk sel inang, mitokondria, kloroplas, dan sebuah prokariot yang memberikan gerak seluler. Dalam teori tersebut juga sudah dijelaskan bahwa nenek moyang mitokondria adalah bakteri yang hidup bebas seperti Daptobacter dan Bdellovibrio, sedangkan nenek moyang kloroplas adalah sianobacteria dan prokariot adalah archaebacterium. Dalam bukunya, Lynn Margulis yang merupakan pencetus versi modern SET, mengusulkan bahwa sel-sel eukariotik sebagai komunikasi dari interaksi entitas yang bergabung bersama dalam urutan tertentu yang kemudian akan menjadi organel dari sel inang. Sepanjang tulisannya itu pula Margulis berpendapat bahwa simbiosis merupakan pendorong utama di balik evolusi. Menurutnya kerjasama, interaksi, dan saling ketergantungan antara kehidupan untuk dominasi global akan hidup. Hal ini juga melengkapi gagasaan evolusi Darwin mengenai kompetisi yang terus-menerus antara mahluk hidup.
Adapun penemuan yang memperkuat SET adalah penemuan yang dilakukan oleh Kwang W. Jeon. Dia menyaksikan pembentukan sebuah simbiosis amuba dan bakteri dimana amuba menjadi tergantung pada endosimbion bakteri. Jeon mengetahuinya dengan melakukan transplantasi inti antara amuba terinfeksi dan amuba yang kurang bakteri. Penemuan ini menunjukan bahwa endosimbiosis bisa memberikan mekanisme utama untuk evolusi seluler dan mampu menjelaskan pengenalan spesies baru. Selain bukti tersebut terdapat bukti lain yang dapat mendukung SET, yaitu gagasan tentang asal endosimbiotik mitokondria dan kloroplas. Di jelaskan bahwa mitokondria baru dan kloroplas dapat timbul hanya dari mitokondria dan kloroplas yang sudah ada sebelumnya, karena mitokondria dan kloroplas tidak dapat dibentuk dalam sel yang tidak memiliki keduanya sebab gen nuklirnya hanya kode untuk beberapa protein.
Mengenai udulipodia eukariotik yang berasal dari bakteri spirochete, masih terdapat kontroversi walaupun termasuk aspek yang diterima dari SET. SET mendalilkan bahwa udulipodia mungkin berasal dari bakteri melalui simbiosis motilitas (hipotesis eksogen). Sedangkan gagasan penentangnya menjelaskan bahwa udulipodia berasal dari internal sebagai perpanjangan mikrotubulus yang digunakan dalam mitosis (hipotesis eksogen). Hipotesis ini juga menekankan peran berbagai jenis mutasi pada evolusi pemisahan sel eukariotik dari prokariotik. Menurut Bermudes dan Margulis (1985) terdapat bukti yang dapat menunjukan hubungan darah atau mengenai asal undulipodia. Selain itu, SET dalam teorinya menyatakan bahwa eukariota berkembang ketika sel-sel archaea dan eubacterial (spirochete) diperbolehkan untuk mobilitas dan akhirnya mitosis. Karakteristik dari sel eukariotik sendiri adalah inti, Margulis mendukung suatu proses yang melibatkan kombinasi dari keturunan langsung dan simbiosis sebagai sumber sel bernukleus. Dalam makalah Golding dan Gupta terdapat perselisihan terhadap asal-usul inti dan menyarankan alternatif yaitu model chimeric. Model chimeric mengusulkan bahwa sel eukariotik pertama muncul sebagai hasil peristiwa fusi yang tidak biasa antara eubacterium Gram-negatif tanpa dinding sel dan archaebacterium dimana kedua orang tua memberikan kontribusi besar untuk genom nuklir sel. Model chimeric didasarkan pada bukti genetik dan biokimia. Salah satu buktinya adalah kenyataan bahwa sel-sel prokariotik merupakan homogenomic (bahan genetik berasal dari satu orang tua) sedangkan sel eukariotik heterogenomic (bahan genetik berasal dari dua atau lebih orang tua). Analisis ini menunjukan bahwa hubungan simbiosis antara bakteri gram-negatif dan archaebacteria layak dikatakan sebagai nenek moyang sel eukariotik.
Penelitian baru Martin dan Miller mengenai asal mitokondria yang merupakan hasil kecelakaan menyebabkan munculnya endosimbiosis teori baru yang disebut “hipotesis hidrogen”. Menurut hipotesis ini dijelaskan bahwa sel eukariotik muncul sebagai hasil dari suatu kesatuan tujuan antara sel inang archaebacterial, sebuah metanogen bahwa hidrogen dikonsumsi dan karbon dioksida untuk penghasil metana, serta simbion mitokondria masa depan yang membuat hidrogen dan karbon dioksida sebagai produk limbah dari metabolisme anaerobik. Jadi, meskipun simbion mampu melakukan respirasi aerobik, simbiosis tetap dimulai sebagai hasil dari produk metabolisme anaerobik. Penjelasan lain muncul dari Lopez dan Moreira yang dikenal sebagai “hipotesis syntrophic”. Menurut hipotesis ini simbiosis asli dipahami telah terjadi antara archaebacterium metanogen dan sulfat-respiring leluhur delta-proteobacterium, tentunya ini berbeda dengan hipotesis sebelumnya. Namun kedua hipotesis ini sepakat dalam saran dari metabolisme anaerobik untuk asal simbiosis mitokondria. Hingga saat ini simbiosis diterima masyarakat ilmiah sebagai faktor penting dalam menghasilkan perubahan evolusioner.

Hipotesis ini diajukan oleh Lynn Margulis pada tahun 1970 di dalam bukunya The Origin of Eukaryotic Cells (Asal Usul Sel-Sel Eukariotis). Di dalam buku ini, Margulis menyatakan bahwa sebagai akibat kehidupan berkoloni dan parasit, sel-sel bakteri berubah menjadi sel-sel tumbuhan dan sel hewan. Menurut teori ini, sel-sel tumbuhan muncul ketika bakteri fotosintetik dimakan oleh sel bakteri lain. Bakteri fotosintetik berevolusi di dalam sel inang menjadi kloroplas. Akhirnya, organel-organel dengan struktur yang sangat rumit seperti inti, badan Golgi, retikulum endoplasma, dan ribosom berkembang, dengan satu atau lain cara. Maka, sel tumbuhan pun lahir.

TEORI NUKLEUS
Sejak struktur sel dan organel dapat diamati, para ahli sudah dibingungkan dengan adanya dua macam organel. Tipe pertama terdiri dari kloroplas, mitokondria, kinetoplas dan nucleus mempunyai membaran ganda. Sedangkan tipe kedua misalnya lisosom, reticulum endoplasmic, badan golgi mempunyai membrane tunggal. Apa yang menyebabkan adanya perbedaan ini. Penemuan DNA ekstranukleus (kecuali pada nucleus) dalam organel bermembran ganda telah memberikan gamabaran yang nyata. Semua DNA yang berasal dari organel bermembran ganda mempunyai cirri DNA prokariot (kode genetic, struktur gen dan mekanisme translasi yang berbeda dengan DNA inti), sehingga tidak diragukan lagi bahwa organel tersebut berasal dari organism prokariot. Mitokondria diperkirakan berasal dari prokariot semacam Paracoccus yang memiliki organ respirasi, sedangkan kloroplas diperkirakan berasal dari suatu ganggang biru (Cyanophyta). Sphirochaeta diperkirakan akan membentuk sel yang memiliki flagella. Flagella kemudian berevolusi kemudian menjadi microtubule dan asalah satunya berperan dalam alat pembelahan sel. Bukti-bukti yang relative actual menunjukkan bahwa sentriolus mengandung suatu DNA ekstranuklear, sama seperti mitokondria kloroplas dan kinetoplas.
1. Nukleus
Meskipun para ahli berpendapat bahwa sebagian besar nucleus merupakan bagian integral dari eukariot, namun adanya membrane ganda membingungkan sejumlah ahli, terutama mengenai asal usulnya. Hipotesis yang dihimpun menunjukkan bahwa membrane ganda nucleus berasal dari invaginasi sitoplasma ke dalam sel tanpa diikuti oleh mekanisme phagositosis. Proses ini memang umum ditemukan. Hanya dalam hal ini membrane nucleus tidak berasal dari hasil simbiosis atau infeksi, tetapi merupakan peristiwa autegenous.
2. Kinetoplas
DNA kinetoplas merupakan DNA yang sangat terspesialisasi dan ditemukan pada Flagellata, misalnya Trypanosoma. Ukurannya bervariasi 0,6-2,4 Kpb. kDNA terdiri dari sekelompok molekul DNA yang berkaitan satu denga yang lain dan jumlahnya mencapai ribuan. Pada rantai gabungan kDNA terdapat pula suatu DNA yang berukuran lebih besar (30 Kpb) yang berfungsi sebagai mtDNA biasa. Apakah kDNA memang memiliki kegunaan tertentu (mentranskripsi) atau hanya sebagai suatu struktur, belum banyak diketahui. DNA ini ditemukan tahun 1980.
3. Sentriolus
Sentriolus adalah suatu organel yang dibentuk pada saat pembelahan sel. Dari sentriolus dihasilkan benang aster dan benang mikrofibil yang mengikat kromosom di daerah sentromer dan kemudian sentriol “akan menarik” kromosom kea rah kutub dari sel. Dengan demikian setiap sel anak akan memperoleh jumlah kromosom yang sama. Sejak dahulu, sentriolus selalu menimbulkan dilemma mengenai asal usul sentriolus. Sentriolus tidak pernah terlihat dalam preparasi sel tumbuhan, meskipun para akhi yakin bahwa ada semacam struktur seperti sentriolus yang bekerja. Sampai sekarang, sentriolus dan benang aster maupun benang spindle pada tumbuh-tumbuhan belum dapat ditampilkan. Pada hewan diketahui bahwa setiap benang tersebut terdiri dari Sembilan mikrotubul. Baru pada sekitar tahun 1995, orang berhasil mengisolasi DNA dari daerah sentriolus. Dengan demikian, para ahli kini yakin bahwa sentriolus kemungkinan yang besar berasal dari suatu prokariot. Pembuktiannya sedang ditunggu orang banyak. DNA ini ditemukan pada tahun 1986.
4. Kloroplas
DNA kloroplas berukuran besar (150 Kpb). Jumlahnya dapat mencapai beberapa ratus buah per sel. Gen-gen yang dikode berperan dalam mengkode membrane dan pembentukan tRNA dan rRNA.
5. Mitokondria
MtDNA merupakan DNA yang sangat bervariasi. Hal ini disebabkan oleh kecepatan muatasinya yang lebih kurang 10 kali lebih cepat daripada DNA inti. Walaupun demikian, perlu dicatat bahwa tidak semua gen pada mtDNA bermutasi dengan cepat. Ada juga beberapa gen yang sangat konservatif dan tidak mudah bermutasi. Seperti pada organism prokariot, semua gen mtDNA tidak mengandung intron. Pada mamalia, mtDNA berukuran sekitar 15-16,5 Kbp. Pada ragi ukurannya jauh lebih besar, seitar 75 Kpb. Pada umumnya DNA tersebut adalah berbentuk sirkuler, berantai ganda.
Pada eukariot, mtDNA mengkode 2 macam rRNA, 22 macam tRNA dan 13 protein yang berfungsi dalam electron transfer. Ada beberapa bagian (URF) yang samapi sekarang belum diketahui dengan pasti kegunaannya, karena sampai sekarang belum diketahui dengan pasti kegunaannya, karena sampai sekarang belum diketahui apakah bagaian tersebut ditranslasikan atau tidak. Pada dasarnya jumlah gen maksimum yang mungkin ada berjumlah sekitar 70 buah.
Dari banyak penelitian, disimpulkan bahwa semua mtDNA berasal dari suatu prokariot yang bersimbiosis dengan hewan untuk membantu metabolism oksidasi. Hal ini dibuktikan dari adanya perbedaan kode genetic dari mtDNA. Pada banyak organism gen ATPase terdapat pada mitokondria, namun ada sejumlah jenis yang mempunyai gen tersebut dalam inti. Meskipun spekulasi di atas mempunyai dasar yang kuat, namun ada beberapa hal yang tidak cocok. Antara lain adalah mtDNA adalah double standed. Hal ini tidak mungkin suatu Prokariot, tetapi suatu eukariot sederhana. MAsalah lain ialah bahwa gen RNA pada mtDNA ragi adalah gen yang memiliki intron. inton belum pernah dijumpai pada Prokariot. Masalah lain ialah bahwa subbab ribosom dari mitokondria tidak dapat ditukarkan dengan ribosom dari bacteria (tetapi dapat antara ribosom kloroplas dengan ribosom bacteria). Dugaan adanya hubungan erat antara bakteri dengan eukariot diperkuat bahwa endosimbiosis antara bakteri dengan eukariot ganggang dengan Coelenterata atau jamur dengan ganggang sudah lama diketahui dan contohnya cukup banyak.
Apakah yang menjadi sasaran dalam penelitian mtDNA? mtDNa merupak suatu satuan yang cukup kecil. Dengan demikian, penelitian mtDNA dilakukan mengingat mudah sekali untuk mengisolasi mtDNA dan mempelajari struktur gen yang terdapat di dalamnya dan bagaimana cara kerjanya. Selain untuk mengetahui lebih jauh mengenai sifat-sifat gen mtDNA, bahan ini banyak sekali dipakai dalam studi evolusi.
mtDNA adalah suatu sistem genetic eukariot yang sangat unik. Selain asal usulnya yang kontoversi, proses penurunan mtDNA sangat unik. Hampir semua sel eukariot maju mengandung paling tidak satu mtDNA. Meskipun mengandung mtDNA sel sperma tidak menurunkannya kepada sel telur. Dengan demikian, mtDNA hanya diturunkan oleh pihak ibu saja. Ada banyak hasil penelitian mengenai mtDNA yang menarik.
Penelitian mengenai mtDNA pada eukariot menunjukkan tingkat kesamaan yang sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat bukan saja pada kode genetika yang identik untuk sebagian besar eukariot. Hanya beberapa organism seperti Schizosaccaromyces pombe (ragi) dan planaria yang mempunyai beberapa kode genetic yang berbeda. Selain itu, ukuran molekulnya juga sangat dekat, 16.295 pb pada Mus musculus, 16.569 pb pada Homo dan 16.338 pb pada Bos taurus. Sebagai kontras, mtDNA pada Drosophila melanogaster adalah 18.600 pb, tetapi 15.800 pb pada M. virilis.
Apabila kita membandingkan macam gen yang terdapat pada mtDNA, maka kita memperoleh macam gen yang identik. Bukan saja identik, tetapi urutan gen-gen yang terdapat pada mtDNA manusia maupun katak adalah identik. Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa mtDNA yang terdapat pada sebagian besar eukariot adalah identik. Kalau memang mtDNA berasal dari suatu prokariot, maka hanya satu prokariot yang sama yang telah berhasil melakukan simbiosis dengan nenek moyang yang hidup pada masa kini. Hal ini membuktikan teori Darwin bahwa organism yang ada berasal dari organism yang hidup sebelumnya.