MAKANAN DAN HUBUNGAN MAKAN

Posted by Ayu Rachmawati

Masalah makan pada hewan merupakan masalah interaksi spesies, hewan-tumbuhan atau hewan-hewan.
MAKANAN HEWAN
Untuk mendapatkan dan memanfaatkan makanan dari lingkungannya, setiap hewan dilengkapi beraneka adaptasi. Macam makanan ditentukan secara genetic dan hasil belajar selama ontogeninya.
Macam makanan dapat ditinjau dari dua aspek. Aspek kuantitatif mencakup masalah kelimpahan di habitatnya serta berapa banyak yang diperlukan sehari-hari. Aspek kualitatif meliputi masalah palatabilitas, nilai gizi, daya cerna serta ukurannya.
Palatabilitas makanan ditentukan oleh banyak sedikitnya senyawa kimia, diantaranya mungkin ada yang bersifat toksik atau merangsang di luar kisaran toleransi hewan. Selain itu, ada struktur yang mengganggu seperti bulu, duri, lapisan kulit keras yang mengurangi palatabilitas makanan. Kebanyakan hewan herbivor, menunjukkan preferensi yang tinggi terhadap bagian tumbuhan yang lunak, yang memiliki palatabilitas tinggi.
Nilai Gizi
Nilai gizi makanan tergantung dari komposisi dan banyaknya kandungan air, mineral, vitamin dan senyawa organic lainnya. Kandungan senyawa tersebut menentukan nilai kalori dan kandungan energi makanan itu.
Apabila dalam diet hewan salah satu komponen yang diperlukan tidak ada, maka akan terdeksi oleh hewan melalui mekanisme neurofisiologi tubuhnya. Salah satu usaha mengatasinya adalah dengan memakan makanan pengganti yang sedikit mengandung komponen tersebut dalam jumlah banyak. Bila kekurangan protein dan tidak dapat diatasi, hewan akan mengalami cekaman fisiologis, dan mungkin saja menjadi kanibalisme meskipun hewan herbivor. Rusa atau jenis Ruminantia menjilati tanah di habitat alaminya, sebagai upaya untuk mengatasi kekurangan garam natrium dalam dietnya. Butir kerikil dalam lambung otot jenis burung frugivor diduga sebagai sumber mineral selain membantu pencernaan mekanis.
terdapat indikasi, sebagai sumber makanan serangga herbivor, tumbuhan C4 nilai gizinya lebih inferior dibandingkan dengan tumbuhan C3. Belalang yang diberi makanan C3 menghasilkan kesintasan nimfa menjadi imago serta fekundisitas imagonya lebih besar dibandingkan dengan belalang yang memakan tumbuhan C4. Suatu hipotesis, hewan herbivor cenderung kurang menyukai tumbuhan C4. Bila benar, dampaknya dapat mengubah kelimpahan tumbuhan C4 di suatu lahan.
Daya Cerna
Pemanfaat makanan yang bernilai gizi tinggi ditentukan oleh daya cerna makanannya. Daya cerna makanan ditentukan oleh bagaimana komposisi kimiawi dan rangka struktural makanan, sera adaptasi fisiologi dan struktural sistem pencernaan hewan tersebut. Hewan herbivor secara umum lebih memerlukan enzim selulase, karnivor protease dan omnivore pengikat enzim pencernaan yang lebih lengkap.
Daya cerna makanan lebih merupakan masalah bagi hewan-hewan herbivor sedangkan bagi hewan karnivor masalahnya adalah mencari, menemukan dan menangkap mangsanya. Nilai gizi dan daya cerna jenis atau bagian tumbuhan berbeda-beda, disebabkan variasi kandungan selulosa, lignin dan lain-lain. Perbedaan nisbah C/N pada tiap bagian tumbuhan, memungkinkan hewan herbivor mengkhususkan pemanfaatan bagian tertentu saja yang cocok dengan adaptasinya agar efisien. Contoh serangga Homoptera, mulutnya teradaptasi untuk menusuk dan mengisap cocok untuk memanfaatkan cairan tubuhan yang kaya gula.
Herbivor yang memanfaatkan cairan tumbuhan, termasuk nectar, mempunyai nilai efisien tinggi. Dijumpai pada Homoptera, Hemiptera dan Hymenoptera, dan banyak yang dikenal sebagai serangga hama tanaman. Cara makan menghisap cairan nutritive seperti itu termasuk tipe nutrisi parasitic.
Asosiasi diantara dua kelompok organisme yang berbeda, memberikan manfaat bagi kedua pihak dan bersifat obligat disebut simbiosis mutualistik. Contoh simbiosis antara Flagelata dan rayap.
Ukuran Makanan
Ukuran makanan bagi hewan herbivor, parasit atau saprovor, bukan merupakan masalah dalam memperoleh dan menanganinya. Sedang bagi karnivor yang makanannya berupa hewan yang mobilitasnya tinggi, masalah lain bahwa ukuran tubuh hewan mangsaharus dalam batas kemampuan hewan predator, untuk menguasainya sebelum dijadikan makanannya. Namun, ukuran mangsa juga tidak boleh terlalu kecil, agar perolehan energi tidak lebih rendah daripada energi yang dikeluarkan untuk memperoleh mangsanya.
Strategi predator dengan mangsa yang lebih besar adalah dengan cara menyerang bergerombol. Contoh serigala, hyena dan semut. Hewan predator yang mangsanya berukuran lebih kecil, menangkap mangsanya itu sekaligis dalam jumlah banyak. Strategi tersebut memerlukan adaptasi-adaptasi khusus. Misal trenggiling yang menjulurkan lidah panjangnya yang lengket hingga rayap, semut dan serangga menempel dalam jumlah puluhan atau ratusan ekor.
Klasifikasi Sumberdaya Makanan (Tilman)
Menurut Tilman, makanan sebagai sumberdaya dapat dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu yang bersifat esensial dan yang dapat diganti.
Jenis makanan yang bersifat esensial adalah jenis makanan yanag sangat vital bagi metabolism, pertumbuhan dan perkembangan, serta tidak dapat digantikan oleh jenis makanan lain. Contoh ulat jenis kupu-kupu Helicenlus makanannya daun Passiflora, sedangkan stadium dewasanya memerlukan serbuk sari sejenis tumbuhaan Curcubitaceae. Hal ini juga dikenal di dunia hewan yang hidup parasitic.
Jenis makanan yang dapat digantikan ada dua macam, yaitu yang bersifat komplementer dan antagonistic.
Contoh komplementer yaitu beras dan kacang bagi manusia. Kacang mengandung banyak asam amino esensial lisin, yang kurang sekali pada beras. Beras mengandung asam-asam amino yang kaya akan belerang, yang kurang pada kacang. Apabila kacang dan beras dikonsumsi secara terpisah, harus dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan dikonsumsi secara bersama.
Contoh antagonistic adalah biji sejenis tumbuhan yang mengandung banyak asam pipekolat D-L dan biji jenis tumbuhan lainnya banyak mengandung asam jengkolat, yang merupakan makanan sejenis kumbang Bruchidae. Kedua jenis biji ini dapat saling menggantikan, namun harus dikonsumsi sendiri-sendiri. Apabila dikonsumsi bersamaan akan memberikan akibat yang tidak baik bagi metabolism kumbanh tersebut.
STRATEGI MENCARI MAKAN
Masalah makan yaitu masalah mendapatkan materi dan energi, juga masalah aktivitas yang menghabiskan energi, sekaligus berisiko. Menurut teori mencari makan optimum, strategi hewan dalam mencari makan ialah mendapatkan perolehan semaksimal mungkin dengan risiko seminimal mungkin.
Setiap kali hewan mencari makan/mangsa, energi harus dikeluarkan. Setiap jenis hewan, berbeda corak pencarian makanannya. Pada jenis predator tertentu (buaya, ular) energi tidak digunakan untuk aktivitas mengejar mangsa, melainkan untuk menyergap mangsa secara tiba-tiba. Beberapa jenis hewan tidak mengeluarkan energi ekstra setiap mencari makan. Misal lebah, sebagian besar energi untuk pembuatan dan perbaikan jarring penangkap mangsa.
Ada jenis hewan mencari makan secara individual atau berkelompok. Secara berkelompok akan memberikan keuntungan bila ketersedian sumberdaya makanan di lingkungan berlimpah. Pada tingkat kelimpahan yang rendah enguntungkan untuk individual, bagi yang berkelompok belum menguntungkan, karena dapat menyebabkan persaingan antar-individu.
Mencari makan secara berkelompok mempunyai nilai penting, yaitu sumberdaya makanan lebih mudah dan cepat ditemukan, serta bahaya yang mengancam lebih cepat terdeteksi.
Biaya mencari makan umumnya lebih rendah pada hewan yang jenis makanannya banyak (polifag), dibandingkan dengan yang jenis makanannya sedikit (oliofag) atau hanya semacam (monofag).

KEBIASAAN MAKAN
Berdasarkan macam makanan yang dimakan, dikenal empat kategori, yaitu:
Herbivor, makanan utamanya tumbuhan atau bagian-bagian tumbuhan.
Karnivor (predator, pemangsa), makanan utama berupa jenis hewan lain.
Omnivor, makanan berupa tumbuhan dan jenis hewan lain dalam proporsi yang lebih kurang sebanding.
Saprovor (saprofag), makanan berupa tumbuhan mati dan bangkai hewan atau feses yang mengalami pembusukan.
Parasitoidisme merupakan hubungan makan yang intermedier sifatnya antara predasi dan parasitisme. Juga memperlihatkan kekhasan tertentu karena melibatkan individu dari dua generasi yang berurutan.
Ukuran tubuh hewan parasit biasanya lebih kecil daripada iangnya. Hewan inang biasnya tidak terbunuh, kecuali bila jumlah parasit banyak atau mengeluarkan toksik. Ukuran predator biasanya lebih besar daripada mangsanya.
Berjenis-jenis Hymenoptera dan Diptera seringkali dinamakan parasit telur, parasit larva, parasit pupa atau parasit nimfa, tergantung stadium mana yang dijadikan inang parasitoid itu.
Hewan dapat dikategorikan atas dasar jumlah spesies yang merupakan makannnya yakni monofag, oliofag dan polifag. Hewan monofag termasuk spesialis makan, polifag merupakan generalis, dan oliofag adakalanya dianggao spesialis maupun generalis tergantung kategori taksonominya.
ASPEK TERHADAP HUBUNGAN MAKANAN
Fenomena hubungan makan berperan sebagai mekanisme pengatur dan pengendali populasi berjenis organisme dalam suatu komunitas. Beroperasinya mekanisme itu karena populasi predator/parasitoid menghasilkan umpan balik negatif, sedang mangsa/inag menghasilkan umpan balik positif. Umpan balik tersebut menghasilkan homeostasis, yakni kecenderungan yang dipunyai sebuah sistem biologis untuk menahan perubahan agar seperti semula dan menjaga dalam tingkat kesetimbangan.
Berbagai jenis serangga herbivor yang dikenal sebagai hama tanaman, serangga dan hewan non serangga yang merupakan predator dan parasitoid dari serangga tersebut merupakan pengendali potensialnya (pengendalian biologis) merupakan aspek penting dari fenomena hubungan ,akan dan mekanisme sistem umpan-balik.
Efektivitas pengendalian ditentukan oleh derajat spesifitas hubungan makan (monofagi, ologofagi), daya mencari dan mendaptkan mangsa, daya berbiak hewan predator terhadap daya berbiak mangsa, daya adapatsi serta kisaran toleransi terhadap lingkungan.
Pengendalian secara biologis lebih baik daripada secara kimiawi. Misal burung hantu mengendalikan hama tikus. Spesifisitas mangsa/inang dalam menggunakan hewan predator merupakan prasayarat penting. Bila tidak terpenuhi, mungkin saja populasi yang tertekan adalah populasi non-sasaran yang bermanfaat atau pesaing hewan hama.
RANTAI DAN JARING MAKANAN
Berbagai jenis organisme dalam suatu komunitas ekosistem terlibat interasi hubungan makan yang menghasilkan rantai-rantai makanan yang menggambarkan urutan hubungan linier antara organisme makanan dengan organisme pemakannya pada tingkatan-tingkatan trofik berurutan. Rantai makanan merupakan perwujudan abstrak dari aliran energi melalui populasi-populasi dalam komunitas.
Adanya polifagi dan omnivore yang melibatkan makanan dari tingkatan trofik yang berbeda-beda menyebabkan rantai makanan seperti beranastomosis membentuk jarring makanan. Corak jarring makanan dapat stabil maupun rawan perubahan. Komunitas yang kurang berpotensi stabil disebabkan karena spesialisasi makan terlalu tinggi, atau hewan herbivor dan karnivornya terlalu sedikit.
Penelitian mengenai rantai dan jarring makanan dalam komunitas biotic jarang yang lengkap dan rinci mencakup semua spesies dalam komunitas itu. Karena spesies kunci yang menjadi pusat perhatian berbeda-beda, maka strategi untuk memelihara suatu komunitas akan berbeda dari komunitas lainnya.
Berbagai ciri hewan sebagai konsumen, mulai dari yang menempati tingkat trofik 2 hingga ke tingkat puncak. Jumlah tingkatan trofik dalam suatu rantai makananm jarang yang berjumlah lebih dari 5. Sebab fenomena hubungan makan pada dasarnya masalah transfer energi, dan setiap transfer energi selalu ada sebagian energi yang tidak termanfaatkan (hilang sebagai panas). Energi yang tersedia pada tingakatan trofik yang lebih tinggi akan semakin sedikit.
Rantai makanan tidak selalu berawal dari tumbuhan hijau. Hewan non-karnivor yang hidup di bagian dasar dan lapisan dalam afotik lautan, memanfaatkan ‘hujan detritus’ organic yang turun dari lapisan eutrofik di atasnya. Hujan detritus merupakan sumber energi awal.
Rantai makanan sebagai suatu sirkuit energi dapat dibagi atas:
Sirkuit merumput (grazing circuit), konsumen primer mendapat energi dari tumbuhan hijau.
Sirkuit detritus organic, konsumen primer mendapat energi dari detritus.
Salah satu konsekuensi dari rantai dan jarring makanan adalah timbulnya magnifikasi biologis. Substansi-substansi yang persisten (DDT, zat radio aktif)cenderung makain terkonsentrasi pada tingkatan trofik yang lebih tinggi.


ANALISIS MAKANAN HEWAN
Pengamatan Langsung
Hewan yang diselidiki tidak perlu dimatikan terlebih dahulu. Relatif lebih mudah dilakukan terhadap hewan berukuran besar, diurnal, serta aktivitas dalam habitatnya mudah diikuti pengamat. Cara ini memakan banyak waktu dan tenaga. Ada kalanya merupakan satu-satunya cara untuk menyelidiki kebiasaan makan jenis hewan langka.
Cara ini juga dilakukan pada hewan yang menyimpan makanan dalam kantung pipi atau tembolok. Organ-organ itu dimanipulasi hingga isinya dikeluarkan dengan cara dirangsang untuk dimuntahkan. Pada jenis hewan lain, analisis dapat dilakukan melalui tinjanya, meskipun hasilnya kurang akurat.
Pengamatan Tak Langsung
Analisis isi lambung
Dengan cara menganalisis isi kandungan yang relatif belum tercerna dari bagian anterior pencernaan (tembolok, lambung). Makanan nabati, teruatam biji-bijian relatif sukar tercerna, setelah 24 jam dikonsumsi masih dapat dikenali. Isi lambung diidentifikasi macamnya dan aspek kuantitatifnya dapat dinyatakan secara numerical (jumlah), gravimetric (berat) ataupun volimetrik (isi).
Cara penelusuran radioisotope
Jenis makanan yang dimakan adakalanya diselidiki dengan cara menelusuri jalur perpindahan melalui rantai dan jarring makanan, dari jenis makanan yang sudah ditandai menggunakan radioisotope yang usia-paruhnya relatif panjang. Radioisotop yang sudah diketahui besarannya dimasukkan ke dalam lingkungan, kemudian jalur perpindahan serta laju kecepatan perpindahannya dideteksi dan dikur dengan alat khusus (pecacah Geiger dan sebagainya). Cara ini sangat mahal, butuh keterampilan khusus dan berisiko tinggi apabila di lingkungan alami.
NISBAH PEMANGSAAN
Salah satu cara untuk mengetahui hubungan antara pemanfaatan makanan dengan ketersediannya, dihitung dari nisbah pemangsaan (Np) sebagai berikut:
Np= (Proporsi (%)jenis makanan yang dikonsumsi)/(Proporsi (%) jenis makanan yang terdapat di lingkungan)
Nilai pembilang diperoleh dari hasil analisis isi lambung, nilai penyebut dari hasil pencuplikan dari habitat yang ditempati.
Np = 1, jenis hewan yang dimakan itu dimanfaatkan oleh hewan secara proporsional dengan ketersediaan di lingkungan.
Np > 1, jenis makanan yang dimakan tidak proporsional dengan ketersediannya, melainkan lebih sering. Mungkin disebabkan karena jenis makanan lebih disuakai, lebih diperlukan atau mudah didapatkan dibandingkan dengan yang lainnya.
Np < 1, jenis makanan yang dimakan kurang sering diambil dari lingkungannya, mungkin karena kurang disukai, kurang diperlukan, atau sukar didapatkan.
Preferensi hewan terhadap suatu jenis makanan sifatnya ada yang pasti, tidak dipengaruhi oleh variasi ketersediann di lingkungan. Preferensi dapat berarti jenis makanan itu lebih diperlukan dibandingkan dengan jenis lain. Ada jenis hewan yang beralih preferensi. Misal, apabila ketersedian suatu jenis makanan rendah, maka kurang dimafaatkan sebagaim makanan, tetapibila ketersedian tinggi, dikonsumsi lebih sering. Prefernsi makanan dapat diamati melalui percobaan di laboratorium. Namun informasi yang diperoleh di laboratorium tidak dapat begitu saja diterapkan bagi hewan di lingkungan alaminya, karena harus berhadapat dengan perubahan kondisi lingkungan dan persaingan antara hewan lain. Faktor abiotik dan biotic di lingkungan alami dapat mengubah aspek kualitatif dan kuantitatif makanan yang dikonsumsi hewan.
MEKANISME PERTAHANAN DAN PERLINDUNGAN DIRI
Mekanisme Pertahanan Kimiawi
Metabolit sekunder pada tumbuhan dapat menyebabkan tumbuhan menjadi tidak palatable bahkan bersifat toksik bagi herbivor pemakannya. Misal pada family Papaveraceae, Solanaceae dan Rubiaceae.
Bernagai jenis herbivor, mekanisme kimiawinya berkembang sangat baik sehingga mempunyai kemampuan untuk menetralkan efek toksik dari tumbuhan yang mengandung alkaloid. Beberapa daiantaranya bahakan mampu memanfaatkan toksisitas tumbuhan yang dimakannya untuk mempertahankan dirinya sendiri trhadap pemangsaan hewan lain.



Mekanisme Pelindung dan Pertahanan Lainnya
Hewan dapat mempertahankan dirinya secara perilaku, struktural ataupun keduanya. Atau kombinasi antara struktural, kimiawi dan perilaku.
Berbagai hewan mengelabui predator dengan mekanisme pewarnaan tubuh, yang kadangkala disertai dengan sikap serta pola prilaku tertentu.
Pewarnaan kriptik, pewarnaan menyebabkan kehadiran hewan tersebut menjadi kurang nampak dalam keadaan normal.
Kemiripan protektif adalah pola pewarnaan yang sangat mirip dengan corak latar belang kewan tersebut.
Pewarnaan disruptip, memberikan kesan terpisah-pisah atau terpuusnya gambaran umum tubuh hewan.
Pewarnaan aposematik, pola pewarnaan tubuh yang sangat mencolok.
Pewarnaan deflektif, adanya bercak dengan warna mencolok pada bagian tubuh yang relatif kurang penting, untuk mengalihkan perhatian hewan predator.
Fenomena Mimikri
Adalah terjadinya ‘peniruan’ suatu pla pewarnaan atau penampilan tubuh lainnya dari suatu spesies (=model) oleh spesies lain (=mimik) melalui proses evolusi. Banyak dijumpai pada serangga.
KOEVOLUSI HUBUNGAN MAKAN
Organismee mangsa akan mengalami koevolusi dengan organisme pemangsanya. Berarti perubahan evolusioner pada organismee mangsa akan menyebabkan terjadinya perubahan evolusioner pada organisme pemangsa, gegitu pula sebaliknya.
Hasil koevolusi yang bersifat umpan balik tersebut acapkali dapat dikenali dari kesesuaian fenotipnya. Kesesuaian itu paling baik perkembangannya pada spesies-spesies yang terlibat yang mutualisme.
Koadaptasi khusus tidak saja menyangkut masalah bentuk, namun juga warna, bau, dan perilaku bunga tumbuhan.

1 komentar:

  1. Unknown

    Terimakasih infonya sangat membantu, jangan lupa kunjungi web kami http://bit.ly/2QK3RQE

Posting Komentar